Serangan tak terduga Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 telah memicu gelombang gerakan sosial di berbagai penjuru dunia, termasuk di Inggris. Dalam gelombang solidaritas tersebut, dukungan masyarakat nampak terpolarisasi – sebagian menyuarakan dukungannya untuk Israel, sementara sebagian yang lainnya berpihak untuk Palestina. Aksi tersebut tidak hanya mengisi ruang publik, tetapi juga ruang digital seperti media sosial Instagram. Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini menganalisis dua organisasi gerakan sosial di Inggris, yaitu Palestine Solidarity Campaign (PSC) dan Campaign Against Antisemitism (CAA), untuk mengetahui bagaimana mereka membingkai konflik ini guna memobilisasi dukungan di masyarakat atas agendanya masing-masing. Dengan pendekatan analisis isi kualitatif dan teori framing gerakan sosial Benford dan Snow (2000), penelitian ini menunjukkan bahwa PSC membingkai peristiwa dari kacamata ketidakadilan, sementara CAA dari sudut pandang ancaman keamanan. Perbedaan cara pembingkaian ini berimplikasi pada terjadinya kontestasi narasi di antara PSC, CAA, dan audiens di kolom komentar melalui counter-framing. Temuan penelitian ini menegaskan bahwa narasi terkait konflik Israel–Palestina yang beredar di media sosial tidak bebas nilai, melainkan sarat ideologi dan kepentingan dari aktor-aktor yang mengonstruksikannya.

Israel–Palestina, Hamas, 7 Oktober 2023, Framing, Gerakan Sosial, Framing Benford & Snow